Pemerintah menggodok alokasi anggaran untuk 27 juta pekerja rentan sebagai penerima bantuan iuran (PBI) agar dilindungi jaminan sosial program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm). Untuk tahap awal, pemerintah akan menyiapkan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun yang diperuntukan bagi 10 persen dari jumlah mereka itu atau sebanyak 2,7 juta pekerja.
Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta, Senin 17 Desember 2018, yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan dengan pihak terkait untuk mengkaji kepesertaan 27 juta pekerja rentan dakam rangka menjadi peserta jaminan sosial dengan menggunakan sumber dana lain atau di luar pemberi kerja/pengusaha. FGD diikuti kalangan pemerintah, akademisi, pengusaha dan lainnya.
Direktur Pengembangan Strategis & Teknologi Informasi BPJS Ketenagakerjaan Sumarjono mengatakan, kepesertaan pekerja rentan saat ini sangat memprihatinkan. Sebab, upah mereka tidak mencukupi untuk membayar iuran meskipun besarannya secara nominal relatif kecil.
"Permasalahannya, sebagian besar upah yang diterima habis untuk makan, transportasi, bayar kontrakan dan keperluan lainnya," kata Sumarjono. Yang masuk kelompok pekerja rentan ini adalah buruh, petani, nelayan, pedagang keliling, dll.
Dengan kondisi ini, kata Sumarjono, jika mereka sakit atau mengalami kecelakaan kerja, maka langsung jatuh miskin absolut karena upah yang dimiliki tidak mencukupi untuk pengobatan. "Jadi, kepesertaan mereka dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) adalah jaring pengaman agar sekeluarga tidak jatuh miskin," ujarnya.
Sementara itu, Peneliti LPEM FEB Universitas Indonesia/Kepala Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI Dr. Teguh Dartanto mengatakan, terdapat 27 juta pekerja rentan sehingga perlu dirancang kepesertaan mereka secara bertahap. Ia menerangkan 10 persen pekerja yang berupah terendah itu akan dibutuhkan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun dalam setahun. "Saya kira ini angka yang relatif kecil atau 0,05 persen dari APBN 2019," ujarnya.
Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Maliki, ST, MSIE, PhD mengatakan, perlu skala prioritas untuk mengatasi pekerja rentan. Dari sudut anggaran, jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan APBN.
Akan tetapi, harus dikaji juga dari sudut upaya mencegah penduduk jatuh ke kategori miskin jika mengalami kecelakaan, lalu sakit, cacat atau meninggal.
Baca Juga: angka romawi 11
Untuk itu, ujarnya, diperlukan kajian akademis untuk melihat manfaat kepesertaan pekerja rentan dalam program jaminan sosial.
Artikel Terkait: jenis anggaran
Kajian juga terkait daya ungkit mereka untuk survive menjadi pekerja yang berhasil mengangkat perekonomian keluarga dan lingkungannya. Dia memperkirakan penyisihan dana dari APBN bisa dilakukan pada 2020 setelah kajian, dasar hukum, dan persetujuan pemerintah dituntaskan pada 2019.
Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto memimpikan setiap anak Indonesia lahir dengan pencatatan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan secara otomatis, sehingga mereka terlindungi secara dini seperti di Swedia.
"Itu mimpi saya. Secara sistem hal itu sangat dimungkinkan, hanya saja perlu kajian sumber anggaran, koordinasi dengan pihak terkait dan kesiapan sosial masyarakat dalan melaksanakannya," ucap Agus seusai membuka FGD.
Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta, Senin 17 Desember 2018, yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan dengan pihak terkait untuk mengkaji kepesertaan 27 juta pekerja rentan dakam rangka menjadi peserta jaminan sosial dengan menggunakan sumber dana lain atau di luar pemberi kerja/pengusaha. FGD diikuti kalangan pemerintah, akademisi, pengusaha dan lainnya.
Direktur Pengembangan Strategis & Teknologi Informasi BPJS Ketenagakerjaan Sumarjono mengatakan, kepesertaan pekerja rentan saat ini sangat memprihatinkan. Sebab, upah mereka tidak mencukupi untuk membayar iuran meskipun besarannya secara nominal relatif kecil.
"Permasalahannya, sebagian besar upah yang diterima habis untuk makan, transportasi, bayar kontrakan dan keperluan lainnya," kata Sumarjono. Yang masuk kelompok pekerja rentan ini adalah buruh, petani, nelayan, pedagang keliling, dll.
Dengan kondisi ini, kata Sumarjono, jika mereka sakit atau mengalami kecelakaan kerja, maka langsung jatuh miskin absolut karena upah yang dimiliki tidak mencukupi untuk pengobatan. "Jadi, kepesertaan mereka dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) adalah jaring pengaman agar sekeluarga tidak jatuh miskin," ujarnya.
Sementara itu, Peneliti LPEM FEB Universitas Indonesia/Kepala Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI Dr. Teguh Dartanto mengatakan, terdapat 27 juta pekerja rentan sehingga perlu dirancang kepesertaan mereka secara bertahap. Ia menerangkan 10 persen pekerja yang berupah terendah itu akan dibutuhkan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun dalam setahun. "Saya kira ini angka yang relatif kecil atau 0,05 persen dari APBN 2019," ujarnya.
Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial Bappenas Maliki, ST, MSIE, PhD mengatakan, perlu skala prioritas untuk mengatasi pekerja rentan. Dari sudut anggaran, jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan APBN.
Akan tetapi, harus dikaji juga dari sudut upaya mencegah penduduk jatuh ke kategori miskin jika mengalami kecelakaan, lalu sakit, cacat atau meninggal.
Baca Juga: angka romawi 11
Untuk itu, ujarnya, diperlukan kajian akademis untuk melihat manfaat kepesertaan pekerja rentan dalam program jaminan sosial.
Artikel Terkait: jenis anggaran
Kajian juga terkait daya ungkit mereka untuk survive menjadi pekerja yang berhasil mengangkat perekonomian keluarga dan lingkungannya. Dia memperkirakan penyisihan dana dari APBN bisa dilakukan pada 2020 setelah kajian, dasar hukum, dan persetujuan pemerintah dituntaskan pada 2019.
Dirut BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto memimpikan setiap anak Indonesia lahir dengan pencatatan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan secara otomatis, sehingga mereka terlindungi secara dini seperti di Swedia.
"Itu mimpi saya. Secara sistem hal itu sangat dimungkinkan, hanya saja perlu kajian sumber anggaran, koordinasi dengan pihak terkait dan kesiapan sosial masyarakat dalan melaksanakannya," ucap Agus seusai membuka FGD.
Komentar
Posting Komentar