Akhir Juni lalu kita menghelat pesta demokrasi bertopik Pilkada Serentak 2018. Walau tetap tersisa beberapa masalah tehnis, pada umumnya pilkada serentak th. ini nisbi bisa disebutkan sukses. Pasangan calon kepala daerah yang besar kemungkinan jadi pemenang juga selekasnya bisa di ketahui lewat cara kalkulasi cepat (quick count).
Pilkada segera mesti disadari mempunyai dua bagian yang kontradiktif. Pilkada senantiasa berikan keinginan sekaligus juga mendatangkan kecemasan. Dua dasawarsa mulai sejak Reformasi bergulir, bangsa ini nikmati system demokrasi terbuka yang dalam beberapa hal ke arah pada system demokrasi liberal.
Di satu bagian, Reformasi buka peluang terbukanya ruangan umum serta kebebasan pers. Tetapi, di bagian lainnya Reformasi juga sudah membidani lahirnya beberapa masalah akut, dari mulai korupsi di level petinggi daerah hingga menjamurnya politik dinasti. Pilkada serentak th. ini juga tidak terlepas dari dua gosip classic itu.
Seperti kita kenali, beberapa kontestan kepala daerah menyandang status tersangka masalah korupsi. Sesaat beberapa calon yang lain berkaitan dengan politik dinasti.
Jadi pilkada serentak paling besar yang sempat diadakan, ditambah waktu proses yang mendekati pilpres, pilkada th. ini wajar jadikan jadi seperti momentum untuk mengevaluasi sejauh mana demokratisasi kita jalan.
Baca Juga: demokrasi adalah
Prestasi serta Ironi
Hari-hari mendekati penyelenggaraan pilkada serentak, kita ditempatkan pada beberapa kecemasan. Tekanan politik yang panas mendekati Pilpres 2019 ditambah dengan sentimen jati diri yang dieksploitasi habis-habisan di Pilkada DKI 2017 melahirkan kekhawatiran jika pilkada serentak bakal diwarnai gesekan sosial sama.
Artikel Terkait: pancasila sebagai ideologi negara
Kita pantas bersukur, kecemasan itu tidak mewujud jadi fakta. Tidak cuma dapat meredam potensi perseteruan, pilkada serentak th. ini dapat hampir sepi dari gosip politik jati diri.
Walau tetap ada usaha untuk memobilisasi massa lewat sentimen jati diri, tetapi gerakannya condong tidak semasif pada Pilkada DKI kemarin.
Pilkada segera mesti disadari mempunyai dua bagian yang kontradiktif. Pilkada senantiasa berikan keinginan sekaligus juga mendatangkan kecemasan. Dua dasawarsa mulai sejak Reformasi bergulir, bangsa ini nikmati system demokrasi terbuka yang dalam beberapa hal ke arah pada system demokrasi liberal.
Di satu bagian, Reformasi buka peluang terbukanya ruangan umum serta kebebasan pers. Tetapi, di bagian lainnya Reformasi juga sudah membidani lahirnya beberapa masalah akut, dari mulai korupsi di level petinggi daerah hingga menjamurnya politik dinasti. Pilkada serentak th. ini juga tidak terlepas dari dua gosip classic itu.
Seperti kita kenali, beberapa kontestan kepala daerah menyandang status tersangka masalah korupsi. Sesaat beberapa calon yang lain berkaitan dengan politik dinasti.
Jadi pilkada serentak paling besar yang sempat diadakan, ditambah waktu proses yang mendekati pilpres, pilkada th. ini wajar jadikan jadi seperti momentum untuk mengevaluasi sejauh mana demokratisasi kita jalan.
Baca Juga: demokrasi adalah
Prestasi serta Ironi
Hari-hari mendekati penyelenggaraan pilkada serentak, kita ditempatkan pada beberapa kecemasan. Tekanan politik yang panas mendekati Pilpres 2019 ditambah dengan sentimen jati diri yang dieksploitasi habis-habisan di Pilkada DKI 2017 melahirkan kekhawatiran jika pilkada serentak bakal diwarnai gesekan sosial sama.
Artikel Terkait: pancasila sebagai ideologi negara
Kita pantas bersukur, kecemasan itu tidak mewujud jadi fakta. Tidak cuma dapat meredam potensi perseteruan, pilkada serentak th. ini dapat hampir sepi dari gosip politik jati diri.
Walau tetap ada usaha untuk memobilisasi massa lewat sentimen jati diri, tetapi gerakannya condong tidak semasif pada Pilkada DKI kemarin.
Komentar
Posting Komentar